Sabung ayam bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak masa lampau, praktik adu ayam telah menjadi bagian dari budaya di beberapa wilayah—terutama di Bali, Sulawesi Selatan, dan sebagian Jawa Tengah. Namun dalam konteks hukum dan modernitas saat ini, sabung ayam menghadapi kontroversi besar. Tidak sedikit orang yang terjerat hukum karena menyelenggarakan atau sekadar ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Artikel ini akan mengupas sejarah singkat sabung ayam di Indonesia, praktiknya di masa kini, serta berbagai kasus hukum di mana pelaku sabung ayam terancam atau bahkan dijatuhi hukuman penjara.
Sabung ayam dulunya bukan sekadar permainan, melainkan ritual budaya. Di Bali misalnya, sabung ayam atau “tajen” dilakukan dalam upacara keagamaan Hindu sebagai bentuk persembahan. Sementara di beberapa daerah Bugis dan Toraja, sabung ayam memiliki makna simbolik dalam acara adat dan pelantikan.
Namun, seiring waktu, sabung ayam bergeser menjadi hiburan taruhan. Banyak yang menyelenggarakan sabung ayam di arena tertutup, dengan uang taruhan sebagai pemicu utama.
Sayangnya, pergeseran inilah yang membuat sabung ayam mulai bertentangan dengan hukum nasional.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang lainnya, sabung ayam dikategorikan sebagai bentuk perjudian, karena melibatkan taruhan uang dengan hasil tak pasti.
Jadi, meskipun ada nilai budaya, sabung ayam tetap berpotensi masuk ranah pidana apabila diselenggarakan sebagai arena taruhan.
Polres Blora menggerebek arena sabung ayam yang melibatkan lebih dari 50 orang.
Sabung ayam dilakukan setiap hari Minggu di area kebun tebu.
Meskipun tajen dilindungi dalam konteks budaya, ada pelanggaran saat sabung ayam dilakukan di luar ritual pura.
Sebagian masyarakat adat menilai pelarangan sabung ayam sebagai bentuk pengingkaran terhadap warisan tradisi. Namun, dalam negara hukum, tindakan yang merugikan secara sosial tetap harus diatur.
Menurut pengamat hukum pidana, Dr. Eko Hartono:
“Tidak semua tradisi bisa dijustifikasi jika menimbulkan kerugian publik, potensi kekerasan, dan terlibat unsur uang taruhan.”
Dalam konteks ini, negara tidak melarang ayam bertarung dalam konteks budaya, tetapi akan menindak saat ada taruhan uang, pelibatan massa liar, atau efek sosial yang mengganggu.
Era digital membawa bentuk baru perjudian: sabung ayam online. Layanan ini biasanya diselenggarakan oleh website asing yang memperlihatkan live-stream adu ayam, dan pemain bisa memasang taruhan menggunakan saldo digital.
Beberapa masalah yang timbul:
Kasus-kasus di Batam, Medan, dan Jakarta mengungkap bahwa sabung ayam online makin marak. Bahkan di satu operasi gabungan 2024 lalu, polisi berhasil membekuk sindikat server sabung ayam online di ruko kawasan Bekasi yang terhubung ke situs luar.
Bentuk Keterlibatan | Potensi Hukuman |
---|---|
Penonton di arena sabung | 1–3 bulan kurungan atau denda |
Pemasang taruhan | 4–10 bulan penjara |
Pemilik arena | 1–5 tahun penjara |
Penyelenggara online | Bisa dikenakan UU ITE & TPPU |
Jika terbukti terorganisir, bisa dikenakan Pasal 55 dan 56 KUHP (turut serta dalam kejahatan).
Masyarakat diimbau untuk melaporkan jika menemukan aktivitas seperti ini di lingkungannya.
Polri terus meningkatkan patroli siber, intelijen lapangan, dan kerja sama dengan tokoh adat untuk mencegah penyalahgunaan tradisi sabung ayam.
Beberapa daerah juga mulai mengadakan:
Sabung ayam berada di persimpangan dua jalan: budaya dan hukum. Di satu sisi, ia adalah warisan; di sisi lain, ia juga bisa menjadi sumber kerugian sosial dan pelanggaran pidana jika disalahgunakan.
Bagi Anda yang masih melihat sabung ayam sebagai tradisi, penting untuk melibatkan pihak berwenang, menjaga agar tidak terseret pada perjudian, dan menghindari ekses negatif. Karena sekali masuk proses hukum, ancaman penjara bukan hal yang ringan.
Categories:
Leave a Comments